Negeriku Kadang Lebai

Negeriku Kadang Lebai

Oleh: Aulia Fitri – 28/03/2010 – 16:24 WIB

FENOMENA negeri ini yang terus diliputi isu dan wacana, bahkan sampai masalah serius pun, kadang tak urung rakyat bersikap pesimis terhadap bangsanya sendiri. Tidak pelak, fenomena lain juga timbul seiring waktu berjalan dengan umur kedewasaan bangsa Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya yang sudah lewat dari setengah abad ini –untuk membuktikan sebuah bangsa yang besar dan bermartabat serta terbebas dari atas segalan penindasan dan penjajahan bangsa luar.

Kembali pada sebuah kosakata yang belum terakreditasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni kata “lebai”. Mungkin ada banyak orang mengenal kata tersebut dengan tulisan lebai, namun ketika kata kunci (keyword) ini dicari pada mesin pencari akan dirujuk pada sebuah kata yang bertuliskan lebay. Yang penting dari kata tersebut adalah dari artinya yang mencoba tetap merujuk pada satu hal yang sama, yakni bermakna berlebihan atau membuat sesuatu/hal untuk dibesar-besarkan apa pun itu konteksnya.

Mengaitkan dua hubungan antara negeri dan kata lebai memang bukan sesuatu yang tidak mungkin, dengan berbagai realitas yang ada disekitar kita. Saya mengira kata itu cocok dengan kondisi yang ada saat ini. Lebih rinci kita bisa melihat lebih dalam, dan tidak mungkin mengeneralisir kata-kata pada semua aspek kehidupan. Satu hal yang mungkin akan tercermin adalah pada rasa nasionalisme.

Kebanggaan yang telah terpupuk sejak dulu, sejak Indonesia menjadi negara yang diakui oleh negara-negara dari bagian benua Asia tidak pernah begitu ’diremehkan’ seperti saat ini, hutang negara, kasus korupsi, sampai kasus yang makin menjadi-jadi, seakan raungan ’macan Asia’ yang dulu ada dan dibanggakan kini telah mulai pupus sudah. Walaupun tidak semua hilang, namun semangat rakyatnya kian terlihat dan menjurus diberbagai penjuru negeri ini berdiri, dari sikap inilah kelihatan lebai-nya negeri ini. Tidak selalu harus merasa terpojok pada aturan yang terus terkekang pada pemangku kepentingan, tidak selalu harus mengkritik para petinggi negara, namun bisa menjadi rakyat yang tahu akan mindset untuk berpikir solutif selain kritis.

Mencoba mengingat kembali, apa yang pernah dikatakan oleh seorang patriot bangsa yang mencoba untuk terus menjaga bangsa ini yang diakui memiliki kekayaan laut yang begitu luas, sebenarnya bisa jadi tolak ukur untuk kita bisa menjadi orang yang peduli dengan nasib bangsa ini.

“..jika kau tanya apa jasaku, akan aku jawab tidak ada. Jika kau tanya apa baktiku, akan aku jawab tidak ada. Aku hanya melaksanakan kewajiban, tidak lebih tidak kurang. Bahkan bendera Viktory yang kukibarkan bukan pula bendera pahlawan, tetapi hanya bendera kewajiban yang akan tetap kunaikkan..” Itulah sepenggal kata dari Komodor Yos Sudarso.

Jika sekilas kita melihat semangat yang telah dikatakan oleh Yos Sudarso, memang berada dalam konteks menjaga tanah air dari pengaruh luar, namun jika seksama merujuk pada satu prinsip yang ada yakni kewajiban menjaga negeri ini dari pengaruh yang berdampak merosot.

Mengutip apa yang pernah ditulis oleh Moch. Tohir dalam tulisannya ”Terkikisnya Jiwa-jiwa Nasionalisme”, ada satu paragraf yang disandangnya sebagai pijakan negeri ini untuk mengerti dengan kondisi yang dialami saat ini, yakni ”Di saat kondisi bangsa Indonesia yang seperti ini, seharusnya bangsa Indonesia tidak perlu jauh-jauh mencari kambing hitam ke sana ke mari tanpa ada solusi yang jelas. (Kabar Indonesia, 8 Januari 2010).

Tidak begitu lebai jika kata-kata demikian mampu membuat kita, bangun dari zaman globalisasi seperti ini. Atau mungkin kita hanya bisa menjadi generasi 3F (fashion, food, fun) seperti yang pernah diutarakan oleh Sumbo Tinarbuko dalam tulisan ”Menjadi 100% Indonesia”.

Semoga tulisan ini jadi sebuah pengingat massal untuk negeri ku ini, jika anda tahu arti dari ungkapan 3F, sungguh kenyataan itu telah merongrong negeri ini jatuh kedalamnya. Mari mulai dari diri kita, dengan hal yang kecil bisa kita lakukan pada lingkungan yang ada disekitar, tidak selalu mengeluh dan hadapi perubahan global untuk bisa lebih cinta pada negeri ini. Sehingga generasi yang lahir pun tidak ikut lebai searah perubahan yang akan datang nantinya.[]

*) Aulia Fitri, Mahasiswa Universitas Indonesia. Pengasuh blog http://samanui.wordpress.com.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.